Lampung Selatan, www.Cakrawalatv.com- Dugaan pungutan liar (pungli) dalam penyaluran bantuan beras pangan di Dusun Umbul Pabrik, Desa Tanjung Ratu, Kecamatan Katibung, Kabupaten Lampung Selatan, semakin terang benderang. Warga mengaku dipaksa menebus bantuan sosial yang seharusnya gratis, sementara Kepala Desa tidak membantah adanya pungutan dan justru berdalih sebagai hasil “kesepakatan warga”.
Berdasarkan hasil konfirmasi Tim Media pada Jumat, 5 Desember 2025, pukul 10.15 WIB, sejumlah warga Dusun Umbul Pabrik yang meminta identitasnya dirahasiakan mengungkap bahwa mereka diminta membayar Rp10 ribu per karung beras bantuan. Karena setiap KPM menerima dua karung, total pungutan mencapai Rp20 ribu per KPM.
“Ya pak, kami disuruh bawa uang untuk nebus beras bansos. Dua sak ya bayar Rp20 ribu. Ambil berasnya di rumah pak RT,” ungkap warga.
Yang lebih memprihatinkan, warga menyebut bahwa bantuan tersebut sebenarnya bisa diambil gratis di Balai Desa, namun mereka diarahkan mengambilnya di rumah oknum Ketua RT. Warga menilai, pengarahan tersebut bukan pilihan bebas, melainkan kewajiban yang sulit ditolak.
“Kalau ambil di Balai Desa gratis, tapi kami disuruh ambil di rumah pak RT sini,” tambah warga lain.
Kades Akui Ada Pungutan, Sebut Hasil ‘Obrolan’
Setelah sebelumnya bungkam, Kepala Desa Tanjung Ratu akhirnya memberikan penjelasan saat dikonfirmasi Tim Media. Terkait pungutan Rp20 ribu di Dusun Umbul Pabrik, Kepala Desa mengaku sudah melakukan pengecekan.
“Sudah kroscek betul yang di Umbul Pabrik, ya,” ujarnya.
Saat ditanya apakah pihak desa mengetahui adanya pungutan tersebut, Kepala Desa tidak membantah. Ia menyebut pungutan itu sebagai hasil pembicaraan antara RT dan warga.
“Itu sudah ada obrolan sama warganya, RT-nya itu. Kata masyarakat maunya begitu, ya dia ngikut,” jelas Kepala Desa.
Lebih lanjut, Kepala Desa memaparkan bahwa sebelumnya telah ada pembahasan dengan para kepala dusun mengenai mekanisme penyaluran bantuan.
“Saya pernah obrol sama kadus-kadus, maunya masyarakat gimana. Mau dibagi di desa atau dibagi di dusun-dusun. Kalau mau di dusun, silakan diatur gimana caranya, karena itu kan butuh transport. Karena masyarakat maunya ngambilnya dekat saja,” tambahnya.
Dalih Transportasi Dipertanyakan, Warga Merasa Tertekan
Penjelasan tersebut justru memunculkan persoalan serius. Bantuan sosial pangan merupakan hak Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang wajib diterima utuh tanpa pungutan apa pun. Alasan biaya transportasi dinilai tidak dapat dibebankan kepada masyarakat miskin, apalagi tanpa dasar hukum dan mekanisme resmi.
Sejumlah warga menegaskan bahwa mereka tidak pernah mengikuti musyawarah desa terbuka, tidak ada berita acara, dan tidak ada pilihan nyata untuk menolak. Posisi warga yang bergantung pada bantuan membuat mereka terpaksa membayar.
“Kami ikut saja, takut nanti tidak dikasih beras,” ungkap salah satu warga.
Kondisi ini menegaskan bahwa apa yang disebut sebagai “kesepakatan” patut diduga hanya formalitas sepihak, bukan keputusan kolektif yang adil. Dalam konteks bantuan sosial, relasi kuasa yang timpang membuat warga tidak memiliki daya tawar.
Bantuan Sosial Tidak Boleh Dipungut dengan Alasan Apa Pun
Secara prinsip, bantuan sosial pangan dari pemerintah dilarang dipungut biaya, baik dengan alasan administrasi, transportasi, maupun kesepakatan lokal. Setiap pungutan yang membebani KPM berpotensi masuk kategori pungutan liar dan penyalahgunaan kewenangan.
Pengamat kebijakan publik menilai, jika dalih “kesepakatan warga” dibenarkan, maka akan menjadi celah berbahaya yang melegalkan pungli secara sistematis di tingkat desa dan dusun. Bantuan negara berisiko berubah menjadi ladang pungutan rutin, sementara masyarakat miskin terus dirugikan.
Desakan Audit dan Penegakan Hukum
Kasus ini memicu desakan agar Inspektorat Kabupaten Lampung Selatan segera turun melakukan pemeriksaan menyeluruh, tidak hanya terhadap oknum RT, tetapi juga terhadap peran dan pengawasan pemerintah desa.
Aparat penegak hukum juga diminta menyelidiki apakah praktik ini memenuhi unsur pungutan liar dan penyalahgunaan kewenangan. Publik menilai, pembiaran dengan dalih kesepakatan justru memperkuat dugaan adanya pelanggaran sistemik.
Warga juga berharap Pemerintah Provinsi Lampung dan Gubernur Lampung turun tangan memastikan seluruh bantuan sosial disalurkan gratis, transparan, dan sesuai aturan, tanpa dalih apa pun yang membebani rakyat kecil.
Kasus Dugaan pungli bansos di Desa Tanjung Ratu ini menambah daftar panjang persoalan penyaluran bantuan sosial di tingkat bawah. Tanpa pengawasan ketat dan sanksi tegas, program bantuan negara berpotensi terus disalahgunakan, sementara tujuan utama membantu masyarakat miskin justru terabaikan.
(Red/tim)
