Dicari dan Dinanti  Politisi Pro Kaum Miskin

 

 

Banyak orang kaya baru (OKB). Itulah panorama pejabat negara yang berasal dari kalangan politisi yang kini duduk di parlemen, di Pusat ataupu daerah. Dapat dipahami, take home pay per bulannya memang cukup besar. Belum dana reses atau kunjungan kerja. Menambah besar pendapatan para politisi itu.

 

Tentu, tak perlu dipersoalkan keberadaan OKB dari unsur politisi itu. Yang menjadi masalah, bagaimana sikap dan perilaku sang politisi yang dulu naik omprengan kendaraan umum, bahkan pernah bergelantungan, tapi kini berkendaraan mewah: adakah perubahan sikap terhadap kaum miskin? Jika berubah, itulah persoalan besarnya.

 

Perubahan yang perlu kita lihat bukan saat bertemu langsung dengan kaum miskin. Tapi, sikap dan pandangannya yang berubah terhadap kaum miskin mengakibatkan format kebijakan yang dirancang-bangun tidak berpihak kepada nasib kaum miskin. Meski mereka sering berteriak empatif terhadap kaum miskin, tapi hanya konsumsi politik pencitraan. Tendensius. Hanya membangun investasi politik untuk periode berikut, terkait penguatan diri di parlemen atau dalam kerangka hijrah ke kepemimpinan di lembaga eksekutif. Teriakan pro kemiskinan hanya konstruksi politik. Selalu melihat kaum miskin sebagai komoditas politik. Karenanya, perjuangannya di lembaga legislatif dan atau eksekutif tidak bersumbu pada tekad dan nurani yang benar-benar empatif-solutif secara substantif.

 

Karena sikap politik hipokartif itulah kita saksikan panorama kemiskinan – hingga kini – masih tetap tinggi. Dan, pandemi covid-19 yang berlangsung hampir setahun ini menambah jumlah angka kemiskinan. Diakibatkan pengangguran baru karena pandemi itu, juga data kemiskinan sebelumnya memang masih tercatat tinggi. Menurut laporan BPS mutakhir, angka kemiskinan itu mencapai 26,42 juta atau 9,78%.

 

Yang memprihatinkan, di tengah pandemi covid-19 yang masih merajalela, ada persekongkolan penyalahgunaan wewenang untuk “menyunat” dana bantuan sosial (bansos) untuk kaum miskin itu. Di antara mereka, ada yang mendapat jatah “jumbo”: di atas Rp 3 trilyun untuk mendisribusikan barang bansos. Nilai jatahnya variatif. Dan melibatkan banyak pihak, terutama dari para pihak yang punya akses dengan kekuasaan, bersifat langsung atau tidak. Memang, ada rasio biaya pendistribusian. Tapi, persoalannya adalah penyunatan nilai barang yang menjadi hak kalangan orang miskin itu. Menurut temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penyunatannya mencampai kisaran 30%. Raja tega. Di tengah pandemi yang sangat memprihatinkan dari sisi kemanusiaan, masih terjadi tindakan yang tidak manusiawi.

 

Penyalahgunaan wewenang itu relatif menggambarkan problem mental politisi dan atau pejabat negara terkait. Problem ini – perlu kita baca lebih jauh dari sisi lain – bagaimana mungkin dirinya sebagai politisi berfikir dan berjuang penuh untuk kaum miskin, sementara “kue” yang ada dijadikan peluang bancakan?

 

Sikap eksploitatif itu – bisa jadi – merupakan konsekuensi dari sistem politik menuju posisi sebagai pejabat negara. Sistem pemilihan secara proporsional terbuka mendorong kompetisi vulgar antarpartai dan antarkontestan. Dan hal ini memaksa dirinya harus obral biaya yang cukup fantastik. Sekedar catatan ilustratif faktual yang tertuang dalam sebuah disertasi, ia sampaikan, untuk bisa duduk di parlemen Senayan, rata-rata mengeluarkan dana sekitar Rp 6 milyar. Ada yang lebih dari itu. Tapi, ada juga yang hanya ratusan juta. Bahkan, ada yang justru surplus: tidak keluarkan dana, tapi justru mendapat sumbangan yang melebihi pengeluaran. Namun, tipologi calon legislatif yang minim biaya apalagi surplus terkategori langka dan nyaris sangat langka.

 

Pendek kata, biaya politik menuju Senayan atau pejabat negara diperlukan anggaran tidak sedikit. Hal inilah yang mendorong sikap dari sebagian besar politisi untuk terus mengejar pundi-pundi. Bukan hanya mengembalikan dana taktis operasionalnya, tapi – sebisa mungkin – menggapai untung. Hal ini memperkuat gambaran, bagaimana mungkin mengharapkan kehadiran politisi yang peduli nasib kaum miskin. Hampir mustahil, selama sistem pemilunya tak berubah. Setidaknya, ada mekanisme politik hukum pemilu yang harus ditegakkan secara ekstra disiplin.

 

Dalam hal ini persoalan sanksi yang tertuang dalam UU Pemilu No. 7 Tahun 2017 harus diberlakukan ekstra ketat: siapapun kontestannya dan apapun partainya, ia atau mereka harus terkena sanksi diskualifikasi, di samping hukuman pidana bagi mereka yang terbukti melakukan politik uang. Di sisi lain, siapapun anggota masyarakat yang menerima uang politik, sebagai personal atau komunitas dan lembaga pun harus terkena sanksi pidana. Sejauh ini, ketentuan sanksi belum diberlakukan secara maksimal. Bahkan belum pernah terdengar caleg terkena sanksi pidana dan diskualifikasi akibat politik uangnya. Juga, tak pernah terdengar anggota masyarakat harus masuk jeruji besi karena terima dana politik dari sang caleg dan atau calon kepala daerah.

 

Secara simplistis bisa ditegaskan, kaum miskin tak bisa berharap banyak terhadap politisi yang – proses politiknya – memang dengan hamburkan uang besar. Karena itu, perlu dibangun budaya baru dalam perpolitikan nasional, terkait pemilihan legislatif (pileg), pemilihan kepala daerah (pilkada), bahkan pemilihan presiden-wakil presiden (pilpres). Kultur baru yang harus dirancang-bangun adalah menyadarkan seluruh elemen rakyat agar menjauhi setiap kandidat yang obral politik uang. Dan kesadaran ini harus dipaksa. Karena itu, aparat kepolisian harus jalan seirama untuk sama-sama menegakkan UU Pemilu itu, terutama terkait sanksi.

 

Jika kultur baru itu berhasil dibangun, maka ada prospek rekonstruksi tingkah-laku politik di tengah politisi, mulai dari sikap dan cara pandang, bahkan etos perjuangannya. Dan kiranya, seluruh kader Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI) harus mampu memprakarsai perilaku politik bersih terhadap seluruh stake holder pileg dan atau pilkada bahkan pilpes nanti, dari anasir kontestan ataupun partisipan. Dengan spirit restoratif menuju budaya baru politik nasional, organ PANDAI perlu mengajak elemen aparat keamanan untuk sama-sama menegakkan aturan main pemilu yang bersih.

 

Bagi kader PANDAI, harus tertanam gelora pengabdian kepada seluruh rakyat. Jika sebelumnya berangkat dari orang tak berada, maka – setelah manggung sebagai politisi atau pejabat negara – ia harus mampu mengenang kembali catatan sejarah ketidaksejahteraannya. Ada catatan pahit dahulu yang terus dikenang dan dirasakan. Karenanya, ia akan jauh lebih terpanggil dengan penuh heroik saat memperjuangkan hak-hak kaum miskin.

 

Dalam setiap sidangnya di berbagai komisi, ia harus tetap membayangkan isak-tangis kaum miskin yang tak bisa makan, tersendat menggapai cita-citanya dalam meniti hak pendidikan. Lalu, terpikir dan harus bertindak agar tangis kaum miskin tidak membasahi pipinya lagi. Tak bisa tidur nyenyak saat kunjungan kerja dan menyaksikan dengan kasat mata tentang air mata anak-anak balita yang kurang gizi, bahkan kelaparan dan pengangguran. Panorama yang menyedihkan itu haruslah menjadi keterpanggilan bagi politisi. Dan PANDAI yang siap memasuki parlemen di jenjang manapun harus terpateri di dadanya untuk setia pada nestapa kaum misikin, meski dirinya berangkat sebagai the have. Dan harus jauh lebih terpanggil bagi kader PANDAI yang dulunya dari keluarga the have not.

 

Keterpanggilan kader PANDAI merupakan pertanggungjawaban politik kepada seluruh elemen masyarakat yang telah mempercayakan suaranya. Menitipkan diri untuk diperjuangkan di arena terhormat: Parlemen. Bahkan lebih dari itu: pertanggungjawaban kepada Allah yang telah mengantarkan perjalanan politiknya ke lembaga parlemen. Satu hal yang perlu dicatat, ketika kita menjunjung tinggi atau menghormati hak-hak kaum miskin, “Langit” pun akan menaruh hormat kepada para politisi pro kaum miskin ini. Kebahagiaan dan doa mereka tak berhijab (tanpa batas). Karenanya sangat terbuka untuk terkabulnya.

 

Sekedar catatan, Allah sungguh dekat dengan kaum miskin. Karena itu, rintihannya akan menjadi malapetaka bagi yang menjahatinya. Sebaliknya, Allah pun langsung tergerak manakala kaum miskin mendoakan kebaikan siapapun yang mendekatinya. Inilah gambaran Allah sangat berempati kepada kaum miskin. Karena itu, sebagai kader PANDAI – para calon politisi berintegritas – tak ada opsi lain, kecuali harus dekat kepada kaum miskin. Agar langkah kita senantiasa dalam bimbingan-Nya. Pasti akan dimudahkan perjalanan dan mewujudkan cita-citanya, meski dana politiknya terbatas.

 

Sebuah renungan, bagaimana cara berdekat diri dengan kaum miskin. Simpel. Tingkatkan kepedulian. Dermakan sebagian hartanya (sedekah, infak dan zakat atau ZIS). Jika tak ada uang, bisa sumbangsih tenaga dan pikiran. Keterlibatan proaktif dengan kaum miskin dalam berbagai medan atau arena akan dilihat oleh Yang Maha Melihat. Keikhlasan kita dalam beramal soleh akan menjadi magnet. Mari kita “berbisnis” dengan Allah dengan cara terus merespons positif kepentingan kaum miskin. Sikap kepedulian kita akan dilihat Allah dan Dia pun akan semakin mendekati kita. Itulah hakekat beragama. Di samping kita jalankan aturan-Nya yang bersifat vertikal dan personal, juga aturan muamalat yang bersifat horisontal.

 

Itulah potret politisi dan atau pejabat negara yang kini dicari dan dinanti kaum miskin. Kaum miskin mencari dan menantinya, karena sudah sekian lama terjadi erosi mental di tengah kalangan politisi dan atau pejabat negara. Meski mereka sering bicara tentang pro kemiskinan, tapi fakta bicara: nasib kaum miskin tetap merana. Inilah peluang besar bagi para pejuang PANDAI. Mari kita berangkat bersama kaum miskin. Agar Allah pun menyertainya. Insya Allah, keberadaan dan kejayaan PANDAI bukanlah fatamorgana.

 

Jakarta, 7 Januari 2021

Penulis: Ketua Umum Partai Negeri Daulat (PANDAI)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *