Oleh: Rioberto Sidauruk
Ketua DPP HAPI/Pemerhati Hukum Ekonomi Kerakyatan
RK, Jakarta,- Kita hidup di tengah masyarakat yang haus akan keadilan ekonomi, tapi ironisnya, kita justru kekurangan payung hukum yang berpihak pada rakyat kecil. Di negeri ini, koperasi kerap diagung-agungkan sebagai soko guru perekonomian. Tapi, pertanyaannya: sudahkah kita memperlakukan koperasi sebagaimana mestinya? Atau jangan-jangan koperasi hanya menjadi jargon manis yang diperdagangkan setiap kali momentum politik datang?
Jika kita benar-benar serius menjadikan koperasi sebagai jalan tengah antara kapitalisme dan sosialisme, maka tak ada pilihan lain: kita harus memberi koperasi fondasi hukum yang kokoh, konstitusional, dan visioner. 29/04/2025
Bukan sekadar tambal sulam peraturan, tapi sebuah undang-undang yang berpihak total pada ekonomi kerakyatan.
Pasal 33 UUD 1945 bukan sekadar dekorasi konstitusi. Ia adalah perintah ideologis. “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan” adalah kalimat yang membedakan arah ekonomi kita dari ekonomi pasar bebas. Maka, memperkuat koperasi dengan UU yang sahih bukan hanya soal kebijakan teknis, tapi soal keberpihakan ideologis terhadap rakyat. Bung Hatta sejak awal memperingatkan: koperasi bukan sekadar alat produksi, melainkan alat perjuangan. Alat untuk memanusiakan manusia. Sayangnya, nilai-nilai itu makin terkikis. Koperasi direduksi jadi koperasi simpan pinjam semata, atau lebih buruk: jadi kendaraan politik lokal. Padahal, koperasi bisa menjadi episentrum distribusi pangan, akses modal, hingga pusat inovasi digital desa.
Kita patut curiga ketika koperasi selalu diagung-agungkan, tapi peraturannya tak kunjung diperbarui. UU No. 25 Tahun 1992 masih kita pakai, sementara tantangan sudah bergeser ke era digital, big data, dan ekonomi platform. Lebih ironis lagi, UU No. 17 Tahun 2012 yang sempat disahkan justru dibatalkan Mahkamah Konstitusi karena dianggap menyesatkan jati diri koperasi. Lalu, sampai kapan kita terus menerus berputar di lingkaran stagnasi regulasi?
Kini DPR sudah mengusulkan RUU Perkoperasian sebagai inisiatif legislatif. Ini peluang emas. Tapi peluang ini juga penuh risiko: akan kah ia menjadi undang-undang yang melahirkan koperasi modern berbasis nilai, atau hanya sebatas dokumen kompromistis tanpa nyawa?
Wacana pendirian 80.000 koperasi desa Merah Putih bisa jadi pemantik. Tapi jangan sampai kita terjebak pada angka. Gagasan besar tanpa fondasi hukum hanya akan menjadi proyek administratif. Kita butuh lebih dari sekadar koperasi yang lahir di atas kertas. Kita butuh koperasi yang hidup, bertumbuh, dan berdampak.
Konsepsi koperasi selaras dengan ekonomi kerakyatan: sistem yang berasas kekeluargaan, bermoral Pancasila, dan berpihak pada rakyat. Ini bukan romantisme ideologis, tapi jalan rasional di tengah krisis ketimpangan. Kapitalisme tak menjawab soal pemerataan. Sosialisme terlalu kaku. Koperasi—jika diberi ruang hukum dan fiskal yang adil—adalah jalan ketiga.
Koperasi hari ini dicekik oleh regulasi yang usang dan pajak yang mencekik. Ironis, lembaga yang bertujuan untuk kesejahteraan bersama justru dikenakan pajak seperti perusahaan kapitalis. Inilah saatnya kita bicara terang-terangan: koperasi harus bebas dari semua jenis pajak. Jika negara sungguh berpihak pada ekonomi rakyat, maka koperasi adalah yang pertama harus diberi afirmasi fiskal.
Apakah kita siap membangun koperasi yang sesungguhnya? Koperasi yang bukan sekadar simbol di baliho kementerian, tapi menjadi mesin utama ekonomi rakyat? Maka kita harus mulai dari hulu: dari regulasi. Dari undang-undang yang berpihak. Dari keberanian politik untuk menegaskan: ekonomi Indonesia adalah ekonomi gotong royong, bukan ekonomi predator.
Kita sedang diberi kesempatan sejarah. Jangan sia-siakan. Jangan tanggung. Karena sekali kita gagal lagi, bukan hanya koperasi yang kehilangan wajahnya—melainkan kita semua, sebagai bangsa yang pernah berjanji mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. ( Red )