Gubernur Sulsel ter_OTT: reorientasi pendekatan kinerja KPK
Jakarta, 28 Februari 2021
Tentu, publik terkejut saat mendengar dan atau membaca Gubernur Selatan (Sulsel), Prof. Dr. Nurdin Abdullah tertangkap tangan (OTT) oleh KPK. Bagaimana tidak? Satu-satunya gubernur di Indonesia yang bergelar profesor ini tercatat bersih. Steril dari gemerlapan korupsi. Tapi, KPK menangkapnya. Adakah perubahan mental dalam diri Nurdin setelah menempati posisi empuk itu? Atau ada faktor yang lebih mendasari KPK sehingga harus melakukan OTT terhadap mantan Bupati Bantaeng dua periode (2008 – 2018) ini?
Jika dikaitkan dengan perjalanan Nurdin Abdullah sebelumnya selaku Bupati Bantaeng, banyak pihak meragukan perubahan sikap mentalnya. Artinya, Nurdin istiqamah. Tak silau dengan gumpalan fasilitas negara, padahal kesempatan untuk mengeksploitasenya sangat terbuka. Karenanya, putera asal Pare-pare, kelahiran 7 Februari 1963 ini sempat meraih gelar antikorupsi sebagai tokoh perubahan selaku kepala daerah. Dan memang, selama menjabat sebagai Bupati Bantaeng banyak terobosan yang dilakukan dan memberikan manfaat kepada rakyat. Reputasi ini pula yang – melalui pilkada 2018-2023, diusung oleh PDIP, PKS, PAN dan PSI – Nurdin mendapat dukungan besar, sehingga berhasil terpilih sebagai Gubernur Sulsel, menggantikan Syahrul Yasin Limpo.
Sekaki lagi, OTT KPK terhadap Nurdin menjadi pertanyaan tersendiri. Mungkinkah Nurdin berubah? Sebagai manusia biasa, memang tidak tertutup kemungkinan itu. Tapi, sepak terjangnya selama ini membuat banyak elemen masyarakat tak bisa mempercayai penyalahgunaan Nurdin terhadap fasiliutas negara. Karena itu, jika memang KPK menemukan indikasi penyalahgunaannya, maka sebuah pertanyaan yang layak kita lontarkan, apakah KPK sudah mengingatkannya? Jika model ini dilakukan, maka misi pencegahan jauh lebih bermakna dibanding penindakan, meski tetap diperlukan tindakan hukum itu.
Perlu kita catat, indikator keberhasilan kinerja KPK tidak ditentukan oleh banyaknya OTT, tapi justru bagaimana membangun sistem pencegahan yang efekfif. Rorientasi pendekatan ini (pencegahan) sejalan dengan fakta bahwa sebaik apapun kepala daerah atau pejabat publik, jika dicari-cari kesalahan – pada akhirnya – akan ditemukan, meski kesalahan yang bersifat sistemik. Sebuah pertanyaan mendasar, apakah KPK didirikan sebagai watch dog, yang terus mengintai kejahatan korupsi? Memang, ada kondisi historis didirikannya KPK, yakni mandulnya proses penegakan hukum antikoripsi semasa sebelum Orde reformasi. Karena itu dididikan lembaga ad hoc, yang khusus menangani korupsi. Tapi, domain besar korupsi bukan hanya yang telah existing. Potensi korupsi (yang belum terjadi) juga perlu dicegah.
Jadi, masa-masa awal kinerja KPK memang cukup tepat jika berkonsentrasi pada penindakan para pihak yang telah menyelahgunaan keuangan negara, termasuk para pihak yang bersekongkol. Tapi, perkembangan periode selanjutnya, idealnya lebih berorientasi ke pencegahan. Jika mengabaikan aspek pencegahan, maka misi besar KPK tak akan pernah tercapai. Sebab, potensi baru korupsi jauh lebih banyak dan besar dibanding pemberantasan. Inilah urgensinya penguatan divisi pencegahan. Sebagai upaya sistimatis dan terencana untuk menekan laju korupsi.
Sekali lagi, jika mencermati reputasi dan karakter Nurdin Abdullah, sungguh ideal jika KPK mengendepankan kinerja pencegahan. Apa yang dilakukan KPK terhadap Nurdin cukup menggambarkan bahwa lembaga anti risywah ini tampak membiarkan kekeliruan Nurdin yang tampak dalam gurita pihak lain. Dan – menurut informasi permulaan – Nurdin terlibat dalam proyek pengadaan infratruktur di wilayahnya (Sulsel) Tahun anggaran 2020-2021.
Sebuah renungan ulang, benarkah Nurdin terkena gratifikasi? Masih perlu pembuktian. Meski Nurdin membantahnya, tapi KPK tetap dalam pendirian tentang keterlibatan Nurdin dalam proyek infrastruktur itu. Sekali lagi, proses hukumnya masih berjalan. Perlu pembuktian dan litigas
Penulis : Farhat Abbas Ketua Umum Partai Negeri Daulat Indonesia (PANDAI)